Antara Shalat dan Pekerjaan
Allah ﷻ berfirman,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
(Qs. Ad-Dzariyat [51]: 56)
Seharusnya kita memahami ayat ini sebagai ayat paling prinsip tentang ajaran hidup. Pesannya jelas: Hidup untuk ibadah!
Ibadah bisa dalam bentuk “mahdhoh“, yaitu ibadah formal misalnya seperti shalat, puasa, zakat, haji, tadarus Al-Quran, dan dzikir. Atau bisa juga dalam bentuk “ghoiru mahdhoh” yaitu meliputi perbuatan apa saja asal diniatkan sebagai bentuk taqarrub kepada Allah.
Maka, pegawai yang bekerja dengan baik, benar dan tidak menyimpang karena takut pada Allah, maka bekerjanya itu bagian dari ibadah. Guru yang mengajar dengan ikhlas, sabar dan penuh dedikasi supaya murid-muridnya maju dan menjadi orang saleh, dan ia berharap penuh ridha Allah, itu bagian dari ibadah. Seorang ayah yang bekerja halal untuk menafkahi keluarganya adalah ibadahnya. Dan contoh-contoh lainnya.
Jadi, orientasi hidup kita harus untuk ibadah. Tiada sesaat pun tanpa ibadah. Maka, dalam kamus seorang muslim, semua pekerjaan harus dilandasi niat ibadah, lilLaahi Ta’ala. Salah satu ibadah yang paling utama dan paling sering dilakukan rutin oleh orang-orang beriman adalah shalat.
Maka, shalat adalah pekerjaan pokok. Pagi-pagi buta kita bangun lalu shalat Subuh. Nanti siang hari shalat lagi Dzuhur. Lalu diantara waktu Subuh dan Dzuhur, ada yang kerjaannya mengajar di sekolah, ada yang bekerja di kantor, ada yang jualan di pasar, ada yang ke sawah, ada pula yang mencari ikan di laut, dan lain sebagainya.
Saat Dzuhur tiba semuanya berhenti untuk shalat. Setelah itu melanjutkan lagi pekerjaannya semula. Nanti ketemu lagi Shalat Asar. Sambil menunggu Dzuhur ke Asar ada yang meneruskan pekerjaannya, dan ada pula yang kembali ke rumah untuk istirahat sejenak. Demikian seterusnya.
Nanti ketemu lagi dengan Shalat Maghrib, disusul dengan Shalat Isya. Disela-sela itu beraneka ragamlah yang dikerjakan manusia. Setelah Shalat Isya, sebetulnya kita sedang menunggu datangnya waktu shalat berikutnya: Shalat Subuh. Ada yang digunakan untuk bersantai ria bersama keluarga atau istirahat malam.
Jika tadi menunggu Subuh ke Dzuhur kita gunakan untuk bekerja, maka Isya menunggu Subuh kita gunakan untuk tidur.
“Kami jadikan tidurmu untuk istirahat; Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.”
(Qs. An-Naba [78]: 9-11)
Jadi, aktivitas yang sudah pasti dan serempak dilakukan oleh orang-orang mukmin adalah shalat. Inilah yang menyamakan dan menyatukan mereka. Di luar shalat, aktifitas dan pekerjaan mereka berbeda-beda. Maka, bagi orang mukmin pekerjaan utama dan yang paling penting, sudah pasti dan jelas adalah shalat
Pekerjaan lainnya -apapun profesinya- adalah selingan saja, sambil menunggu datangnya waktu shalat. Maka, janganlah justru berpikir terbalik, yaitu shalatnya hanya sebagai selingan. Sehingga fokusnya justru pada pekerjaan, bukan pada shalatnya. Ketahuilah, shalat itulah yang pokok, maka shalatlah dengan sepenuh hati dan tenaga.
Untuk itu, janganlah kita shalat dengan SISA-SISA: sisa waktu, sisa tenaga, sisa pikiran, dan sisa hati. Jangan sampai saat bekerja mencari nafkah dilakukan dengan sungguh-sungguh, istilah bahasa Jawa “pol-pol-an”. Namun giliran datang waktu shalat tenaganya sudah lemes, mengantuk, menguap, ditambah lagi tidak dengan khusyu.
Itu namanya ibadah menggunakan sisa-sisa tenaga, sisa-sisa pikiran dan sisa-sisa hati. Jangan sampai terjadi ibadah kita kalah dengan pekerjaan, kalah dengan tontonan, atau kalah dengan hiburan. Sementara Rasulullah ﷺ malah menjadikan shalat sebagai penghibur
“Shalat dijadikan sebagai penghibur hatiku.”
(HR. An-Nasai)
Bagi Rasul dan para sahabat serta orang-orang shaleh dahulu, shalat adalah hiburan. Apakah kita sudah sampai pada level demikian? Menjadikan shalat sebagai hiburan? Atau shalat malah menjadi beban? Jika datang waktu shalat tinggalkanlah pekerjaan, apalagi jika hanya sekedar permainan atau tontonan.
Allah ﷻ berfirman,
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Jumuah [62]: 9)
Bahkan, Rasulullah ﷺ pernah membangunkan Bilal bin Rabah Radhiallahu 'anhu, sang muadzin yang bersuara sangat merdu itu, untuk mengumandangkan adzan Subuh.
“Bangunlah wahai Bilal, tentramkanlah hati kami dengan shalat” begitu kata Rasul.
Bagi Rasul dan para sahabat serta orang-orang shaleh zaman dulu, shalat bisa membuat tenteram hati. Apakah level kita sudah sampai demikian? Masih banyak yang shalat, tapi tetap saja gundah gulana. Jika demikian, berarti ada yang keliru dalam shalat kita.
Jelaslah, bahwa bagi Rasulullah ﷺ shalat adalah hiburan yang menentramkan. Bukan sekedar rutinitas fardu yang tidak memiliki makna. Rasulullah ﷺ senang dengan datangnya waktu shalat dan selalu menantikannya. Sementara kita seringkali menggerutu jika adzan berkumandang sementara sedang asyik-asyiknya bekerja dan bermain.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
(Qs.al baqarah [2]: 45)
“Peliharalah semua shalatmu, dan peliharalah shalat wustha (Asar). Berdirilah untuk Allah dalam shalatmu dengan khusyu’”
(Qs.al baqarah [2]: 23)
Semoga kita bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bekal Manusia Menghadap Allah ﷻ Adalah Sholat.
Jika orang sibuk bekerja sampai melupakan shalat lima waktu, maka perlu diingatkan. Sebab, jika seseorang meninggal dunia yang dibawa adalah amalan shalat. Sementara bekerja itu supaya bisa makan dan tidak meminta-minta.
Tujuan orang bekerja adalah supaya bisa makan. Dan dengan makan, seseorang bisa menegakkan tulang belakang. Kemudian dengan tegaknya tulang belakang, maka seseorang bisa menunaikan shalat Sebab, syarat sahnya shalat adalah dengan tegaknya tulang belakang.
Jadi kalau ada orang sibuk bekerja sampai lupa sholat, maka sesungguhnya ia telah lupa substansi(tujuan) hidupnya adalah ibadah. Seseorang yang tepat waktu saat menghadiri rapat dari atasannya, tapi tak menyegerakan shalat ketika adzan berkumandang. Bahkan, banyak umat islam yang sengaja mengakhirkan waktu shalat hingga wudlu menyambung waktu sholat berikutnya.
Bukan karena dia menjaga wudlu, tapi dia baru sholat Dzuhur pukul 15 :15 WIB sedangkan Ashar pukul 15:30. Maka pola hidup seperti itu, bahkan sampai meninggalkan shalat karena sibuk bekerja adalah cara yang salah. Sebab, bekal manusia menghadap Allah ﷻ adalah shalatnya.
Sementara amalan lain, seperti zakat, dzikir, dan lainnya adalah “embel-embel.” Shalat adalah penentu amalan lain. Dalam suatu hadits disebutkan,
“Amal yang pertama kali akan dihisab seseorang hamba pada hari kiamat ialah shalat. Jika shalatnya baik, maka dinilai baiklah seluruh amalnya yang lain dan jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya yang lain”
(HR. Thabrani)
Shalat juga tiangnya agama, ibarat tiang layar sudah tidak bisa tegak, maka kapal tidak akan bisa berlayar lagi. Jangan sampai gara-gara sibuk bekerja sampai lupa membaca Quran, menunda-nunda shalat, mengakhirkan waktu shalat bahkan lebih fatal meninggalkan shalat.
Sumber: MHI
0 Response to "Antara Shalat dan Pekerjaan"
Post a Comment